PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA
- Sistem perwakilan (representataive system) yang efektif;
- Peradilan yang independent, bersih dan profesional;
- Aparatur birokrasi yang bersih, profesional dan responsive;
- Masyarakat sipil / warga yang kuat dan partisipatif;
- Desentralisasi yang demokratis; dan
- Mekanisme resolusi konflik (pencegahan dan penyelesaian konflik) yang efektif.
Prof. John ST. Quah dari National University of Singapore (NUS) melaporkan hasil kajian komparasi tentang pemberantasan korupsi di negara Singapore, Hongkong, China dan Republik Korea yang menyimpulkan bahwa negara-negara tersebut melakukan 6 (enam) best practices dalam memberantas korupsi;
- Tidak memberikan kewenangan pada polisi dalam memberantas korupsi karena pemberantasan korupsi biasanya ditempatkan sebagai prioritas terendah dibandingkan dengan kejahatan-kejahatan lainnya, disamping meluasnya praktek korupsi di tubuh kepolisian di negara-negara tersebut;
- Melaksanakan legislasi anti korupsi yang komprehensif (perluasan definisi, kejelasan dan kekuatan kewenangan, ketersediaan hak-hak penyidik dan penuntut untuk menerobos kendala prosedural;
- penyediaan dana yang cukup dan staff yang memadai pada Badan/Lembaga Pemberantasan Korupsi;
- Mengikis rantai birokrasi di pemerintahan, terutama deregulasi perizinan;
- perkecil peluang korupsi di instansi-instansi “basah” (seperti di polisi, pajak, bea cukai, imigrasi, pekerjaan umum);
- Menghukum koruptor tanpa diskriminasi agar korupsi sebagai perbuatan yang berisiko tinggi dan aktifitas yang discourging ( to make corruption a high risk, low reward activity ). Best practices yang keenam ini sangat tergantung dari lembaga peradilan (sebagai penegak hukum) yang berkualitas dan berintegritas. Disinilah pentingnya sebuah pemahaman bahwa pemberantasan korupsi harus dimulai dari lembaga penegak hukum.